Ilmuan J. Robert Oppenheimer tumbuh sebagai sosok brilian sejak masa muda. Ia menyelesaikan pendidikan fisika teoretis di Harvard. dan kemudian memperdalam ilmunya di Eropa bersama para fisikawan papan atas. Ketika Perang Dunia II berkecamuk, pemerintah Amerika Serikat merekrutnya untuk memimpin proyek rahasia terbesar dalam sejarah militer modern: Proyek Manhattan.

Oppenheimer menerima tanggung jawab besar. Ia mengumpulkan ratusan ilmuwan terbaik di Los Alamos, New Mexico, dan mengoordinasikan mereka dalam perlombaan menciptakan senjata nuklir sebelum Jerman Nazi melakukannya. Ia bukan hanya seorang ilmuwan, tetapi juga organisator ulung yang mampu menyatukan ide-ide kompleks dalam tekanan waktu dan politik.
Ledakan di Hiroshima: Titik Puncak Keberhasilan dan Kehancuran
Pada 6 Agustus 1945, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom pertama di dunia ke kota Hiroshima, Jepang. Bom itu membawa nama “Little Boy”, hasil karya dari laboratorium yang dipimpin Oppenheimer. Ledakannya menewaskan lebih dari 140.000 orang, baik langsung maupun secara perlahan akibat radiasi.
Meski operasi militer itu mengakhiri Perang Dunia II, perasaan puas tak sepenuhnya dirasakan Oppenheimer. Di satu sisi, ia berhasil mewujudkan terobosan teknologi terbesar di masanya. Namun, di sisi lain, ia menyaksikan bagaimana ciptaannya menghanguskan kota dan merenggut nyawa massal dalam hitungan detik.
Saat menyaksikan uji coba bom pertama di padang pasir New Mexico pada Juli 1945 (Trinity Test), Oppenheimer mengutip Bhagavad Gita:
“Now I am become Death, the destroyer of worlds.”
Kutipan itu mencerminkan perubahan mendalam dalam batinnya. Ia tidak lagi hanya ilmuwan, tetapi juga pembuka gerbang bagi era kehancuran global.
Dari Pahlawan ke Tersangka: Perubahan Sikap Berujung Pengkhianatan
Setelah perang usai, Oppenheimer berbalik arah. Ia menentang penggunaan senjata nuklir lanjutan dan menolak pengembangan bom hidrogen, yang jauh lebih dahsyat dari bom atom. Ia percaya bahwa senjata nuklir seharusnya menjadi peringatan bagi umat manusia, bukan alat dominasi.
Sikap itu membuatnya bersinggungan dengan tokoh-tokoh kuat di pemerintahan, termasuk Edward Teller, sesama ilmuwan nuklir yang justru mendorong pengembangan bom H. Perseteruan internal antara ilmuwan memicu perpecahan tajam di lingkungan kebijakan militer AS.
Puncaknya, pada 1954, pemerintah AS mencabut izin keamanan Oppenheimer. Dalam sidang keamanan yang kontroversial dan penuh nuansa politik, ia dituduh bersimpati kepada komunisme dan dianggap sebagai ancaman bagi keamanan nasional. Padahal, banyak pihak meyakini bahwa tuduhan itu bermotif politik karena Oppenheimer menentang perlombaan senjata.
Hidup dalam Bayang-Bayang Penyesalan
Setelah didepak dari jantung proyek nuklir, Oppenheimer menjalani hidup dalam keterasingan. Ia mengajar, menulis, dan menghabiskan waktu di Princeton Institute for Advanced Study. Meski masih dihormati sebagai ilmuwan, Oppenheimer tidak lagi memegang pengaruh terhadap kebijakan negara.
Dalam banyak wawancara, ia menyuarakan kekecewaan dan penyesalan atas keterlibatannya dalam pengembangan bom atom.
“Aku tidak menyesali sains, aku menyesali pilihan penggunaan hasilnya,” ucapnya suatu kali.
Rehabilitasi Terlambat: Pengakuan Datang Setelah Wafat
Oppenheimer meninggal pada tahun 1967 karena kanker tenggorokan. Ia pergi dengan menyimpan luka batin yang dalam. Baru pada tahun 2022, pemerintah Amerika Serikat akhirnya mencabut keputusan tahun 1954 yang mencoreng reputasinya. Langkah itu dilakukan oleh Menteri Energi Jennifer Granholm sebagai bentuk pengakuan terhadap ketidakadilan yang dialami Oppenheimer.
Refleksi Global: Dosa Intelektual di Era Senjata Pemusnah
Nasib Oppenheimer tidak berdiri sendiri. Kisahnya mencerminkan dilema moral besar yang dihadapi ilmuwan di tengah tuntutan negara. Ilmu pengetahuan yang seharusnya menjadi cahaya bagi peradaban, berubah menjadi senjata karena kekuasaan politik membelokkan tujuannya.
Melalui tragedi Hiroshima dan nasib pribadi Oppenheimer, dunia belajar bahwa pengetahuan tanpa kebijaksanaan bisa melahirkan kehancuran. Pertanyaannya bukan lagi “bisakah kita membuatnya?”, tetapi “haruskah kita melakukannya?”.
Penutup: Warisan Ambivalen Seorang Jenius
J. Robert Oppenheimer meninggalkan warisan yang penuh kontradiksi. Ia membuktikan bahwa manusia bisa menciptakan teknologi luar biasa. Namun, ia juga mengingatkan dunia bahwa kemajuan tidak selalu membawa kedamaian. Ilmuwan tidak boleh menutup mata terhadap dampak sosial dan moral dari ciptaannya.
Meski telah tiada, sosok Oppenheimer terus hidup sebagai simbol dari ambiguitas moral dalam sains modern. Kisahnya mengajarkan bahwa kecerdasan tanpa hati nurani bisa membuka pintu menuju bencana, bukan kemajuan.
Baca Juga: Modus dan Peran Para Tersangka Korupsi Proyek Jalan di Sumut

Start earning passive income—join our affiliate network today! https://shorturl.fm/9L970
Join our affiliate community and maximize your profits—sign up now! https://shorturl.fm/DVZD6
Start earning on every sale—become our affiliate partner today! https://shorturl.fm/JFo1x
https://shorturl.fm/SaDXt
https://shorturl.fm/mMUY0
https://shorturl.fm/dvvA0
https://shorturl.fm/sd1ue
https://shorturl.fm/z8Pc9
https://shorturl.fm/51csu
https://shorturl.fm/KmaTD
https://shorturl.fm/zECQD
https://shorturl.fm/O16gG
https://shorturl.fm/7odz2
https://shorturl.fm/Q5V0I